Aku yang menurutmu perhatian, menyenangkan, punya banyak waktu, tapi kalau di hatimu bukan siapa-siapa apa hebatnya?
Dan dia, meski menurutmu kurang perhatian, membosankan, hampir tak
punya waktu, tapi kalau di hatimu adalah segala-galanya, berarti dialah
juaranya.
Jika kamu mobil maka aku ini tak ubahnya bengkel. Kamu menemuiku
hanya ketika ingin memperbaiki kondisimu yang jengkel. Di saat kecewa
kamu kepadaku membawa urai air mata. Dan entah kenapa aku justru bangga,
kemudian berusaha sebisaku sehinga matamu kembali berbinar, sampai
senyummu kupastikan kembali melebar.
Sementara dia?! Dia seperti garasi, tempatmu kembali mengistirahatkan
diri dari malam hingga pagi. Kepadaku, seberapapun lamanya kamu mampir,
aku sadar itu hanya parkir, bukan sebuah pemberhentian terakhir.
Untuk bibirmu, aku berupaya segala cara agar selalu tersungging
senyuman di sana, iya sebatas itu tugasku. Sementara untuk mengecupnya,
aku tak punya hak apa-apa, itu tugas dia.
Iya, selalu begitu. Kamu datang kepadaku membawa kecewa karenanya,
lalu kembali kepadanya membawa bahagia karenaku. Selalu begitu, terus
terulang, sudah tak terbilang.
Kamu bodoh, terus bertahan dengan dia yang tak perhatian. Masih
memilih dia yang katamu membosankan! Atau...? Atau sebenarnya aku
sendirilah yang bodoh, terus menyambutmu meski ini tidak ada bedanya
dengan pelarian?!
Aku bingung aku ini mengalah, atau sebenarnya memang kalah? Tapi
terserahlah! Memikirkannya saja aku sudah sangat lelah. Kujalani saja
meskipun mungkin ini salah.
Jujur setiap melihatnya memandangimu yang cantik, dalam diam yang
geram aku kerap berdoa licik, semoga dia lebih sering memperlakukanmu
tidak baik. Agar kamu lebih sering kecewa. Agar aku dan kamu lebih
sering bersama.
[Salam Kamfret]
0 comments:
Post a Comment